Jakarta - Diam-diam Presiden SBY sempat memikirkan lokasi baru pusat pemerintahan. Rumitnya persoalan kemacetan di ibu kota Jakarta, mendorong SBY memikirkan pemindahan pusat pemerintahan. Bagaimana kemungkinannya?
Dalam benak SBY, barangkali, pemindahan pusat pemerintahan itu harusnya seperti Brazil yang memindahkan ibu kotanya begitu jauh dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Atau Amerika Serikat dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canberra, dan Jerman dari Bonn ke Berlin. Karena jauh akhirnya orang pada pindah rumah.
Almarhum Prof Oto Sumarwoto dari Universitas Padjadjaran pernah menyatakan, kalau seperti Malaysia itu tanggung dan tidak sepenuh hati. Cuma 40 km. Sehingga sebagian tidak pindah rumah dan akhirnya jadi jauh dan macet. Namun kalau dekat, misalnya di Jonggol atau Sentul, niscaya orang Tangerang, Bogor, Jakarta, Bekasi, Depok tetap tinggal di rumahnya dan berkantor di ibu kota baru. Jalan jauh dan kemacetan pun terus berlangsung.
Dalam konteks ini, pertama-tama kita harus sadar bahwa pemindahan ibu kota dari satu kota ke kota lain adalah hal yang biasa dilakukan. Itulah yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Jepang, Australia, Jerman, dan Brazil sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini. Indonesia sendiri pernah memindahkan ibu kotanya dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1946 bahkan pernah pula ke Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 1948.
Di 1950 Presiden Soekarno pernah membuat wacana memindahkan Ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tapi itu hanya wacana tanpa tindak lanjut. Over populasi (jumlah penduduk melebihi daya tampung) merupakan penyebab utama kenapa banyak negara memindahkan ibu kotanya. Sebagai contoh saat ini Jepang dan Korea Selatan tengah merencanakan pemindahan ibukota negara mereka.
Jepang ingin memindahkan ibu kotanya karena wilayah Tokyo Megapolitan jumlah penduduknya sudah terlampau besar yaitu: 33 juta jiwa. Korsel pun begitu karena wilayah kota Seoul dan sekitarnya jumlah penduduknya sudah mencapai 22 juta. Bekas ibukota AS, New York dan sekitarnya total penduduknya mencapai 22 juta jiwa.
Jakarta sendiri menurut mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, dirancang Belanda untuk menampung 800.000 penduduk. Namun ternyata di saat Ali menjabat Gubernur, jumlah penduduk Jakarta membengkak jadi 3,5 juta dan sekarang membengkak lagi hingga daerah Metropolitan Jakarta yang meliputi Jabodetabek mencapai total 23 juta jiwa.
Kemacetan Jakarta dan sekitarnya, yang menjadi sorotan pers dalam beberapa hari terakhir, kiranya tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomis (Kompas, 26/0710). Kerugian yang dialami juga menyangkut kerugian sosial dan psikis.
Kini kita melihat, di Jakarta kendaraan merambat perlahan. Teriakan klakson bergantian. Saling mendahului. Polisi dengan masker menutupi hidung sesekali melambaikan tangan. Jalan seakan menyempit. Tak lagi mampu menampung deretan kendaraan yang berlomba mencapai tujuan.
A Sonny Keraf, Menteri Lingkungan Hidup era Presiden Megawati menyingkapkan bahwa agar Jakarta tidak bertambah parah macetnya, penting adanya larangan bagi pembangunan baru untuk minimal tiga bidang.
Pertama, tidak boleh ada lagi penambahan pembangunan mal atau pusat perbelanjaan baru di Jakarta. Apabila perlu, tidak boleh ada lagi penambahan mal baru di Jabodetabek. Dengan larangan ini, tidak akan ada lagi penambahan urbanisasi tenaga kerja baru ke Jakarta untuk bekerja di pusat-pusat perbelanjaan dan pertokoan tersebut.
Kedua, tidak boleh ada lagi hotel baru dibangun di Jakarta. Dengan otonomi daerah, seharusnya berbagai kegiatan pemerintahan telah dilaksanakan di daerah. Oleh karena itu, seharusnya daerahlah yang didorong membangun hotel baru sejalan dengan bergeraknya uang ke daerah.
Ketiga, sudah saatnya pembangunan universitas baru dilarang di Jakarta dan sekitarnya. Dengan jalan itu, pemerintah berketetapan untuk mengembangkan universitas baru, negeri dan swasta, yang berkualitas dan murah di daerah. Tenaga-tenaga dosen muda di daerah diberi kesempatan memperoleh pendidikan lanjutan di luar negeri untuk kembali mengajar di daerah.
Presiden SBY dan kabinetnya serta masyarakat madani mungkin bisa mempertimbangkan pelbagai pandangan yang berfokus pada pentingnya pemindahan pusat pemerintahan, sehingga Jakarta tetap pusat bisnis dan ekonomi. "Nyaris tak ada jalan lain kecuali memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta, sebab ibukota sudah overload dan kemacetan semakin parah. Memindahkan pusat pemerintahan bisa menciptakan transformasi mental dan kultur baru bagi perubahan," kata pengamat sosal-budaya Taufik Rahzen.
Tanggapan Ganjar Pranowo
"Ibukota yang tepat menurut saya adalah Palangkaraya seperti ide Bung Karno dulu," ujar Anggota Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan Ganjar Pranowo di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (29/7). Bung Karno, menurut Ganjar dulu sudah menghitung dengan baik kenapa pemilihan di Palangkaraya. Pertama Kalimantan adalah daerah aman gempa, tidak termasuk ring of fire, datar dan tidak ada gunung disana. Selain itu, Kalimantan dan Palangkaraya dekat dengan perbatasan. "Jadi kalau pusat ditaruh, maka perbatasan akan lebih terperhatikan," kata dia.
Apalagi luas Kalimantan Tengah dua kali luas pulau Jawa, jadi secara tata ruang bagus dan potensial untuk dikembangkan. Dengan dipindah maka akan menjadi sangat bagus seperti di negara Amerika Serikat. Dimana Washington DC pusat pemerintahan dan New York sebagai kota bisnis. "Anggap Washington seperti Salatiga yang sejuk dan tidak bising sehingga pemerintah lebih konsetrasi dalam bekerja," kata dia.
Ganjar menambahkan wacana pemindahan ibukota berawal karena persoalan DKI yang tidak dapat terurai. Sampai-sampai iring- iringan Presiden pun diprotes dalam surat pembaca. "Kalau bisa dirapikan, tidak perlu ada wacana pemindahan. Tapi memang tidak ada alternatif lain," kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar